Sabtu, 19 Oktober 2013

Curahan Kebahagiaan Terakhir Untuk Guru Mulia

postingan ini sebelumnya di publish pada salah satu blog saya di http://denichaerudin.wordpress.com/






Sehat terus wahai habibana

malam ke empat belas di bulan ramadhan 2013 masehi. Bulan berpijar dengan benderangnya di malam itu. Bintang berkelip terbias dengan cahaya bulan yang sepanjang malam menemani. Tepat di hari senin malam selasa, betapa tak tergambarkan nya rasa bahagia dan semangat untuk menghadiri perkumpulan mulia saat itu. Perkumpulan yang setiap minggu di adakan di masjid raya al munawar pancoran Jakarta yang di hadiri puluhan ribu muslimin yang memadati masjid sampai di halamannya. Rasa haru dan bahagia bisa kembali duduk bersama wajah wajah mulia di depan sana. Rasa khawatir sempat muncul ketika pembacaan riwayat hidup sang nabi saw di bacakan , wajah mulia yang ku rindukan itu belum tampak hadir.
Bulan yang terpijar dengan indahnya tak membawa berita hampa. wajah yang bercahaya yang ku rindukan telah tiba dengan kewibawaanya yang meluluhkan sanubari, hingga air mata menetes melihat nya berjalan dengan jubah dan

senyum indah. namun mata ini belum di izinkan untuk menatapnya terus menerus. mungkin sebab kehinaan pandangan yang tak terjaga di luar menghalangi untuk melihat wajah mulia itu. Dari tengah masjid itu, getaran lembut suara mu yang berwibawa terdengar hingga tulang rusuk ini luluh di dalamnya. Rasanya tak dapat terbendung lagi air mata yang sejak awal kedatangannya, ingin ku lepas sepuas puasnya.
Khas mu yang selalu memanjakan kami para murid mu. Dengan canda dan tawa. Seakan akan kau mempu melihat isi hati dan fikiran dari tiap tiap kami hingga Kau tau fikiran kami tak terkonsentrasi dalam pembahasaan kitab.. Betapa tajam nya perasaan mu terhadap kami. Kami yang hanya merepotkan mu. Tak mampu berbuat banyak untuk membantumu. Canda mu, tawa ceria mu, membangkitkan kami yang lemah dalam belajar. Wahai habibana. Walau kau utus kamu untuk terjun kedalam samudera. Kami tak akan pungkiri sedikitpun dari hal itu.
Betapa tak tergambarkannya perasaan cinta yang bergemuruh dalam diri melihatmu dalam keadaan bugar dan ceria. Walau pagi harinya dirinya kembali di opname Karena peradangan otak yang kambuh. Terkadang Kau paksakan walau dengan kursi roda atau bahkan kasur listrik yang merebahkan mu dalam majelis ini. Gembira haru kami wahai habibana, melihatmu kini lebih membaik. dan tangis tak dapat terbendung ketika dzikir kau serukan hingga tak mampu lagi diri untuk menahan air mata yang mengalir. Pecah tangis kami untuk mendoakan mu. Untuk kesembuhanmu.Janji setia kami untuk mu dunia akhirat. Sehat terus wahai habibana. Kami mencintai mu.





Sampah Visual


    Jumat sebelas juni2013 pukul 23.00 wib metro tv kembali menyangkan program yang selalu saya nantikan. Kenapa ? karena dalam program tersebut menampilkan film film documenter yang sangat bermanfaat dan sangat menarik untuk di lihat. Tahun ini sebenarnya tahun pertama saya mengikuti kompetisi yang di adakan olehnya. Karena baru pada tahun ini umur saya mencukupi syarat sebagai peserta. Namun, banyak hal yang harus saya lebih explore seharusnya, hingga tahun depan saya dapat kembali belajar dan berkontribusi dalam kompetisi ini dan dapat memenangkan tentunya.

     Eagle documentaries kali ini menyoroti tentang sekelompok masyarakat yang di ketuai oleh salah seorang dosen desain komunikasi visual dari ISI yogyakarya  sejak tahun 1992. Seseorang yang terlihat begitu sederhana dengan motor tuanya berjuang setelah dari kampus untuk kembali kepada aktifitas social di luar kampus. Saya cukup menyoroti dari hal ini karena biasanya orang perupa mereka selalu berpenampilan apa adanya dan selalu dengan gaya sederhana tetapi bukan berarti masa bodo dengan penampilan. Mereka tetap rapih dengan rambut gondrongnya dan gaya nyentriknya. Hal itu saya perhatikan pula dari para dosen saya di fakultas industry kreatif Universitas Telkom. Cara bicara mereka, gaya berpakaian mereka cukup berbeda dengan dosen dari fakultas lain.  Seseorang dapat melakukan apapun untuk mengekspresikan dirinya tanpa merugikan orang lain.

    Menjadi sorotan seorang dosen dkv dari isi Yogyakarta ketika melihat begitu banyaknya pamphlet, baliho, spanduk iklan yang bertebaran di seluruh kota tanpa mengenal ruang dan media. Mereka dengan asyiknya menempelkan iklan itu di ruang public bahkan di tancap di pohon dengan paku paku. Ruang publik yang seharusnya di nikmati dengan pemandangan natural kini terdistorsi dengan begitu banyaknya iklan. Betapa tidak hampir di setiap pinggir dan sudut perempatan jalan selalu ada iklan yang bertebaran itu. Mulai dari yang membayar pajak iklan sampai yang illegal sekalipun. Iroinis ketika pemerintah tidak menyadari akan hal ini. Atau sebenarnya mereka sadar tetapi masih bingung apa yang harus di lakukan. Dan menurut saya lebih ironis ketika kita sebagai mahasiswa perupa yang notabene bekerja pada bidang grafis seperti itu justru tidak menyadari akan hal itu dan apakah para pengajar perupa itupun sadar dengan kenyataaan yang seperti ini ? begitu di luar kepala prinsip prinsip desain yang di pelajari, estetika, semiotika, retorika visual bahkan kita pun mendapat pengajaran psikologi persepsi. Teteapi kita tidak sadar akan hal tersebut.


    Masalah yang di angkat oleh eagle kali ini sungguh sangat menampar saya. Saya sudah cukup lama tidak merasa nyaman dengan dengan bertebaran nya iklan grafis yang menampati hampir diseluruh ruang public. Betapa tidak, bahwa dari perusahan kelas kakap hingga obat herbal kelas teri beriklan disana dan siapa yang membuatnya tentualah para desainer akademis hingga tukang seting percetakan. Tetapi justru hal tersebut yang tidak kita sadari. Apalah arti prinsip desain dan ilmu kejiwaan persepsi itu jika tidak berimbas pada pola fikir yang lebih indah untuk para calon desainer.